Meet Maleo, Mascot of Lore Lindu National Park

Another story about another part of Nusantara…

Kali ini saya akan bercerita tentang kunjungan ke Sulawesi bagian Tengah…

Sudah lama sebenarnya ingin mem-posting cerita ini, tapi sayangnya tidak cukup rajin dan selalu punya alasan malas untuk mengurai kata.. hehehe

Oke. Lets start it !

Palu yang terkenal dengan bawang gorengnya yang enak ternyata tempat dari salah satu Taman Nasional yang ada di Indonesia. Namanya Taman Nasional Lore Lindu. Taman Nasional ini memiliki luas sekitar 217.991 Ha. Karena areanya yang luas dan waktu berkunjung yang terbatas jadi saya dan tim yang kebetulan seperjalanan memilih berkunjung ke tempat Penangkaran Maleo di daerah Salaki. Dari kota Palu, jarak tempuh ke Salaki sekitar 2 jam perjalanan. Perjalanan agak sedikit terhambat karena ternyata di Palu ini nyari solar aja susah banget.. Hiks! Hiks! Mesti muter nyari ke seantero kota, satu demi satu SPBU baru nemu. Fiuhh..!! Salah satu masalah saat jauh dari pusat pembangunan yaa kayaknya..

Nah, setelah 2 jam perjalanan, kami pun tiba di kantor resort TN yang ada di Salaki. Tapi, untuk ke Penangkaran Maleo, masih harus menempuh perjalanan lagi menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar 20 menit dan keadaaan jalan yang agak cocok buat off road soalnya yang dilewatin adalah kebun-kebun masyarakat dan sungai.. :))

Kiri kanaaan kulihat saja banyaak pohon kelapaaa *nyanyii*

Pake Lewat Parit-parit juga lohh..!!
Closer to the targeeet…!! :))

Ini sungai yang harus disebrangin kalau mau ke penangkaran Maleo.. Tapi sungainya kemudian melebar karena longsor…
Nahh..!! Nyebrangnya kudu begini biar gak hanyut.

Soalnya aliran sungainya lumayan deress..!! :))

Salah satu part yang asik.. Jalan-jalan di hutan lagi… Yuhuuu..!!
Dan ternyata eh ternyata… tempat ini juga punya mata air panas.. Hmmm..!! Harusnya bisa jadi tempat pariwisata yang menarik. Tapi kemudian saya jadi bertanya-tanya, ada apakah? kenapa tempat sebagus ini sepi pengunjung..?? hehehe
Finaaally..!! Welcome to Saluki.. *tepuk tangan membahana* *sembari ngos-ngosan*. Oke jalan kakinya sebenarnya gak lama, hanya sekitar 15 menit udah sampai ke lokasi penangkaran ini. :))
No Caption..! No comment…!! *grinning*

Nah, jadi sodara-sodara seantero negeri… Penangkaran ini dibangun untuk membudidayakan –hmm bukan, istilah itu gak tepat.. hmm mungkin meng-conserve lah yaa– burung-burung Maleo agar tidak punah. Karena keberadaannya sekarang pun sudah mulai langka… Nah, apa dan bagaimana bentuk dan rupa Maleo bisa lebih jelas dilihat di sini.

Ini diaa penampakan si mama Maleoo di tangkaran.. Karna malu-malu sama kami para tamu.. Akhirnya dia memilih bertengger di atas. Fiuhh..!!
Dari penangkaran, jalan sedikit sekitar 10 menit ke belakang.. kita bisa menemukan hamparan lahan yang penuh dengan lubang-lubang..

Eits! tapi ini bukan lubang jebakan untuk berburu.. Amazing-nya, sehamparan lubang itu dibuat oleh mama Maleo ketika akan bertelur… Kebayang gak sih, burung seukuran lebih gede dikit dari ayam.. Bikin lubang segede di atas itu… dan mereka bikin lubang gak cuma satu… bisa tiga sampai lima lubang… itu untuk mengelabui musuh-musuh alami mereka seperti biawak dan babi hutan dari lokasi telur yang sebenarnya…

Kebetulan sekali, saat kami sampai di lokasi, ada mama Maleo yang langsung kabur.. Which is mean, salah satu dari lubang itu punya telor.. *hip hip hurray dalam hati*.

Ehemm! tapi maaf yaa.. saya gak termasuk salah satu dari musuh alami mereka loh..!! hehe

Jadi, penangkaran ini dibangun salah satu fungsinya adalah untuk mengerami telur-telur Maleo yang ditemukan di alam, di dalam penangkaran. Reasonnya, kalo di alam ternyata bukan cuma biawak sama babi hutan yang suka makan telor, masyarakat juga banyak yang memburu telor Maleo ini..

Nah, kalo denger cerita.. Konon kabarnya si mama Maleo ini kalo abis bertelur langsung pingsan lohh.. Kesian juga yaa.. Mungkin karna itu, kalo abis nelor dia langsung lari ninggalin anaknya.. Kalo ngutip kata temen aku, si mama Maleo ini mama durhaka.. abis nelorin anaknya ditinggalin begitu aja.. -__- |emang ada gitu yaa mama durhaka??|

Gimana mama Maleo gak pingsaaan kalo telornya segede gaban giniiihh..??!! *membelalak*

Nah, ternyata lagi |ternyata yang kesekian kalinya| perlu teknik dan pengalaman bertahun-tahun loh untuk mengenali lubang telor yang asli. Si mama Maleo, walaupun setelah bertelor dan pingsan kemudian pergi begitu saja meninggalkan telornya ternyata masih punya naluri ke-mamah-an. Seperti yang udah diceritain sebelumnya, dia bikin segitu banyak lubang |mungkin di tengah-tengah kontraksi dan entah udah bukaan ke berapa. *abaikan yg ini*| buat ngerjain siapa aja yang mencoba mengambil telurnya. Dan kayaknya sih emang burung ini tuh diciptakan Tuhan dengan unik dan sempurna. Soalnya dia endemik di wilayah-wilayah dengan karakteristik geothermal tertentu. Nah, kondisi ini yang memungkinkan si telur keluar cangkang tanpa perlu bermanja-manja sama mamahnya. Benar-benar telur teladan pemirsah. Dari telur aja udah mandiri.. hehehe.

Jadi akhirnya, saya berkesempatan mencoba mengambil telur Maleo dari dalam lubangnya… Setelah menebak beberapa kali, ternyata lubang yang saya tunjuk selalu salah. Kemudian bertemulah kami semua dengan sebuah lubang.. Lubang yang baru saja ditinggalkan oleh si mama Maleo yang langsung terbang saat kami tiba..

Ini dia si lubang ajaaiib.. :))
Setelah mengobok-obok tanah berpasir sekitar 10 menit |lama lohh ini..!!| dan bermandi peluh…

Akhirnya, telurnya ketemu juga pemirsahh..!! Dan saya pun tersenyum senang. hehehe

Jadi, mengambil telur dari lubang ini juga punya tips dan trik khusus… Saat menggali, kita gak boleh menggunakan tenaga berlebih, takut telurnya pecah.. terus saat mengeluarkan telur, posisi telur jangan sampai kebalik Itu sama skali gak boleh, konon kabarnya |bukan konon lagi sebenarnya, ini fakta..!!| kalo telornya kebalik, baby Maleonya gak akan menetas… Jadi selama perpindahan tempat, telur harus tetap dijaga sesuai posisi sebenarnya. Sampai ditaroh lagi di lubang buatan di penangkaran. Hmm, tapi kalo dipikir-pikir beby Maleo ini hebat loh. Lubang yang dibuat mamahnya aja dalemnya bisa sampai setengah meter, bahkan katanya bisa sampai semeter. Trus kebayang gak sih, bayi yang baru keluar dari cangkang telur, menetas kemudian harus menghadapi perjuangan lain yaitu mengorek-ngorek tanah sampai dia ketemu permukaan bumi.

Hidup ini kerassss sodara..!!! Makanya gak boleh kalah semangat sama baby Maleo.

Beby Maleo lagi mengkhayal kapan dia dibebaskan dari tangkaran… heheh

Touched Down Tanjung Puting National Park

Ada yang sudah pernah membaca Partikel-nya Dee Lestari ?

Well, mungkin akan ada yang bertanya, apa hubungan Partikel-nya Dee Lestari dengan postingan yang tertunda lama ini.

I like to read novel, a lot.

Membaca novel bisa membawa saya menjelajah kemanapun tulisan-tulisan itu mengalir.

Partikel salah satu novel favorit saya (most of Dee’s writing are my favourites 😀 ).

Dalam beberapa halaman buku tersebut, saya dibawa terjun ke hutan belantara Kalimantan, tepatnya di Taman Nasional Tanjung Puting. Setelah membaca halaman demi halaman tentang Tanjung Puting, dalam hati saya berkata : Suatu hari nanti, saya pasti bisa ke sana..!

Mungkin seisi semesta saat itu sedang berkonspirasi dengan manisnya sehingga bulan November tahun 2012 kemarin saya berkesempatan berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting. Free! and I was charged! *grinning*

Oke, jadi ceritanya ke Tanjung Puting waktu itu adalah semacam perjalanan dinas untuk kegiatan salah satu instansi pemerintah.

Hari itu, untuk menuju ke Tanjung Puting, kami harus menempuh perjalanan dari Jakarta (Soekarno Hatta) – Pangkalan Bun (Iskandar) dengan pesawat Trigana Air selama kurang lebih 1 jam 10 menit.

Hari pertama dan kedua perjalanan kami habiskan di Pangkalan Bun, karena data-data yang dibutuhkan harus diakses di kantor Balai Taman Nasional Tanjung Puting.

Pangkalan Bun sendiri adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah. Kota kecil ini merupakan kota yang cukup vital di Kalimantan Tengah. Memiliki bandar udara (Badar Udara Iskandar) dan pelabuhan (Pelabuhan Kumai) sendiri di dalam kotanya.

Di kota Pangkalan Bun, kita tetap bisa menikmati wisata yang menarik seperti serangkaian wisata kuliner dan berkunjung ke istana kuning.

Makanan yang paling saya senangi saat di Pangkalan Bun adalah ikan patin bakar. Ikan patin ini berbeda dengan ikan patin yang biasa diternakkan. Ikan patin-nya dibeli dari nelayan-nelayan sugai. Rasanya benar-benar gurih. Sebagai pelengkap, ikan patin bakar biasanya disajikan dengan sambel mangga dan sambel terasi ditambah lalapan berupa daun singkong rebus, mentimun dan terong bakar.

Ikan Patin Bakar

Istana Kuning adalah salah satu objek wisata sejarah dan budaya di kota Pangkalan Bun.

Namanya Istana Kuning tapi dari corak bangunannya sama sekali tidak di dominasi oleh warna kuning. Istana ini sebenarnya bernama Istana Indra Sari Keraton Lawang Kuning Bukit Indra Kencana. Panjang banget kan..!

Mungkin biar lebih komunikatif, pemerintah kemudian menamakan istana ini sebagai Istana Kuning, dan perlu diingat bahwa kuning merupakan warna keramat bagi masyarakat Kotawaringin Barat.

Dari cerita kerabat kerajaan yang kebetulan menjadi pemandu kami hari itu, Istana Kuning ini dibangun pada tahun 1806 oleh Sultan Imanuddin di Kutaringin Baru, Pangkalan Bu’un.Istana yang asli pada tahun 1986 terbakar sehingga kemudian dilakukan pemugaran besar-besaran sampai terbentuk Istana Kuning yang saat ini bisa dinikmati pengunjung.

Masuk ke kompleks Istana Kuning, kita bisa melihat dua bangunan yang seolah terpisah tetapi sebenarnya memiliki pintu penghubung antara satu dengan yang lainnya. Bangunannya terdiri atas aula, kamar Raja, dan dapur. Di aula biasa diadakan acara pernikahan, penampilan tarian atau teater dan berbagai acara rakyat lainnya. Bergeser ke kanan, kita akan menemukan ruangan yang penuh dengan lukisan raja-raja yang pernah memerintah Istana Kuning, manekin sepasang pengantin, dan beberapa artefak peninggalan kerajaan seperti guci, perlengkapan makan, dan benda-benda dari perunggu. Ada juga kereta kencana dan senjata kerajaan.

Aula dan Selasar Menuju Kamar Raja
Kompleks Istana Kuning
Manekin Pengantin
Kereta Kencana
Lukisan Raja-raja

Di bawah kompleks istana ini, kita bisa menikmati pemandangan kota Pangkalan Bun dari atas. Kalau diperhatikan, dan dari cerita pemandu kami, bangunan di Pangkalan Bun terdiri dari beberapa jenis bangunan. Bangunan tersebut mencirikan suku yang mendiami Pangkalan Bun seperti penduduk asli, penduduk Tionghoa, dan penduduk Jawa.

 
Pangkalan Bun

Okay, lets meet the main topic… (topik pembukanya kepanjangan -___-)

So, i would like to tell ya some great experiences with Tanjung Puting National Park…

Here we go…

Jadi, untuk menuju TNTP (Taman Nasional Tanjung Puting) kita harus berkendara menuju Pelabuhan Kumai kurang lebih 30 menit. Pelabuhan Kumai ini pelabuhan yang cukup ramai. Di sekitarnya banyak ditemukan bangunan-bangunan tinggi semacam ruko yang ternyata kandang eh maksudnya sarang burung walet.

Dari Pelabuhan Kumai, kami menggunakan speedboat. Lebih afdol sebenarnya make klotok. Jadi klotok itu semacam kapal berukuran hmmm.. sedeng lah yaa yang biasa dipake turis-turis menjelajah sungai-sungai menuju Tanjung Puting. Semacam perahu yang di pilem Anaconda itu loh…

Klotok

Paket traveling dengan klotok itu bisa memakan waktu 3 hari. Banyak turis mancanegara yang sangat menikmati menggunakan fasilitas klotok ini. Rate price-nya sih sekitar IDR 2,7 – 4 juta. Tergantung mau berapa lama dan bagaimana pelayanannya. Well, karena saya makenya gratisan, jadi dikasi speedboat pun sudah Alhamdulillah. Kapan-kapanlah menikmati melancong pake klotoknya. Hehehe…

Perjalanan menggunakan speedboat memakan waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke Camp Lakey. Tetapi karena pake mampir-mampir untuk ketemu masyarakat di Desa Sekonyer jadi waktu tempuhnya lebih dari itu. Saya melintasi ekosistem mangrove yang ada disepanjang sungai Sekonyer. Sayang tapi airnya coklat. Kata bapak petugas, itu karena di atas TNTP ada pertambangan, jadi air yang mengalir ke Sungai Sekonyer ini jadi keruh. Vegetasi yang bersentuhan langsung dengan air pun nampak tidak sehat  Hmm, saya jadi inget salah satu scene yang saya pernah baca di Partikel. Tentang air sungai yang coklat di satu sisi sungai dan hitam khas rawa di sisi sungai lainnya. Saat melewati sungai yang di maksud (pengkolan menuju Camp Lakey), miris rasanya. Betapa manusia itu bisa sangat merusak apa yang sudah diberikan Tuhan untuk dia.

See that 2 tone colours..! 😦

Okee, setelah melewati pengkolan tersebut. Aliran sungai kemudian menyempit, disisi ini hutannya beneran berasaaa. Kiri kanan yang dilihat pohon semua, dengan air rawa yang bisa dipake ngaca, tapi jangan berani-berani nyelupin tangan ke air, karena kamu gak akan pernah tau di dalam air itu ada apaan. Bisa jadi udah ada bu’aya yang lagi mangap-mangap nunggu dikasi makan. Hehehe…

Beberapa saat melewati aliran ini, kami tiba-tiba dikejutkan oleh makhluk yang tiba-tiba juga nyemplung ke air. Ternyata ohh ternyata itu adalah seekor bekantan. Jadi, kebiasaan primata-primata disana kalo lagi pengen nyebrang, biasanya nunggu ada kelotok atau speedboat, katanya sih kelotok atau speedboat itu bisa menghalau buaya yang biasa nongkrong tepi-tepi sungai untuk bersembunyi, jadi si bekantan dkk yang lewat bisa dengan aman menyebrang tanpa takut diterkam.

Nah, gak berapa lama kemudian kami tiba di Camp Lakey. Menambatkan speedboat di darmaga kemudian meniti dermaga kayu menuju ke dalam. Saat itu salah satu bangunan di Camp Lakey sedang direnovasi jadi banyak bapak-bapak pekerja yang berseliweran. Kami kemudian dipandu jalan-jalan oleh mas-mas muda yang bertugas di Camp Lakey. Jadi, di Camp Lakey ini, orang-orang utan dibiarkan bebas berkeliaran dan berinteraksi dengan manusia. Di sini, ada bangunan pusat informasi orang utan, di dalamnya kita bisa melihat foto-foto orang utan dan turunan-turunannya yang ada atau pernah lahir di Camp Lakey. Uniknya, nama anak-anak orang utan ternyata mengikuti nama indukannya. Misalnya indukannya diberi nama Siswoyo maka semua turunannya (anak sampe cucu sampe cicit) akan diberi nama dengan huruf awal S. Seleb orang utan di tempat ini ada Tom si pejantan dan Siswi si betina. Tapi sepertinya saat berkunjung ke sana, belum berjodoh bertemu Tom dan Siswi. Kami hanya sempat bertemu dengan bekas makanannya berupa kulit pisang yang berserakan di jalanan (sedihhnyaaa…. T.T ). Ternyata, waktu kedatangan kami itu bertepatan dengan musim berbuah buah-buahan di hutan, jadi mereka lebih memilih menjelajah ke dalam hutan ketimbang nongkrong di sekitar basecamp :'((. Salah waktu berkunjung rupanya… Alih-alih nontonin orang utan, yang ketemu malah babi hutan yang ternyata dengan bebasnya berkeliaran juga di daerah ini..ada juga si Macaca fascicularis yang asik loncat di antara semak-semak :))

Nah, sebelum lupa. Kepopuleran Tanjung Puting tidak bisa dilepaskan dari seorang wanita pecinta orang utan yang sudah berpuluh-puluh tahun berinteraksi dengan orang utan di Tanjung Puting, Prof. Birute namanya. Orang-orang di TN sih memanggil dia ibu Birute. Ibu Birute ini bagian dari Orang Utan Foundation atau biasa disebut OFI. Jadi, OFI ini semacam NGO yang bekerjasama dengan pemerintah mengurusi orang utan di TNTP.

Narsis di depan papan resort pun tak terlewatkan ;D
Darmaga Camp Lakey
Tempat si Macaca berkeliaran
Salah satu jalan di basecamp Camp Lakey
Silsilah keluarga orang utan di buat seperti ini :))

Karena hasil celingak-celinguknya nihil di Camp Lakey, kami beralih tujuan ke Tanjung Harapan. Tanjung Harapan ini salah satu pos yang juga menjadi favorit wisatawan. Di pos ini, kita bisa melihat dan berinteraksi secara langsung juga dengan orang utan saat jam pemberian makan. Kami tiba di Tanjung Harapan sekitar pukul 13.00, makan siang kemudian istirahat sejenak. Selain kami, sudah ada beberapa klotok yang bersandar dan beristirahat menanti waktu pemberian makan untuk orang utan. Nah, jadwal ngasih makan orang utan di Tanjung Harapan ini biasanya sekitar pukul 14.00, wisatawan akan berbondong-bondong menuju tempat makan orang utan. Dua orang petugas akan datang dengan membawa keranjang makanan biasanya pisang dan umbi-umbian. Saat waktu makan tiba, kami pun beranjak ke tempat makan orang utan. Ada cara khas untuk memanggil orang utan berkumpul. Mungkin karena sudah terbiasa, diwaktu tersebut, saat mendengar panggilan. Beberapa orang utan pun kemudian satu per satu memasuki tempat makan. Mereka datang, melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Yang pertama terlihat seorang eh seekor pejantan dengan tubuh besar dan pelipis yang lebar berayun dari satu pohon ke pohon yang lain. Kemudian disusul dengan betina yang berayun sambil menggendong bayi orang utan. Dari sisi lain datang juga seekor pejantan. Saat makan, pejantan yang lebih kuat atau lebih berkuasa akan dibiarkan makan terlebih dahulu oleh orang utan pejantan atau betina lainnya. Jika tidak, pejantan yang kuat itu bisa marah dan berkelahi dengan pejantan yang lebih lemah. Jadi mereka pun cari aman. Setelah menilai pejantan kuat tadi sudah rada kenyang, baru deh si ibu orang utan and the baby dan pejantan lain ikut menikmati makanan yang sudah disajikan. Ada juga orang utan yang tidak mau ke meja makan jadi dia di beri makan di bawah pohon..

Daya tarik ini yang banyak sekali diminati oleh wisatawan, khususnya wisatawan asing. Mereka dengan bekal kamera yang lensanya panjang-panjang akan mengabadikan segala momen kedatangan, makan dan interaksi orang utan itu.

These moments were so alive :))

Untuk pertama kalinya saya melihat orang utan di luar kebun binatang dan sirkus.

As ending, we should be proud for being a part of Indonesia.

Salah satu cara bersyukurnya, seharusnya kita lebih menyayangi lingkungan di sekitar kita.

Lets save Orangutan :))